-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Yayasan Al Kholiqi Klarifikasi Pemberitaan Hoax "Dugaan Tangkap Lepas” Kasus Narkoba di Mojokerto

| September 24, 2025 | 0 Views Last Updated 2025-09-24T12:49:53Z



Sidoarjo - Liputanphatas.com //
Yayasan Pondok Pesantren Rehabilitasi Pecandu Narkoba Al Kholiqi menyampaikan klarifikasi resmi terkait pemberitaan salah satu media lokal Mojokerto pada 23 September 2025. Dalam pemberitaan tersebut, yayasan disebut-sebut terlibat dalam praktik “tangkap lepas” kasus narkoba di bawah naungan Polres Kabupaten Mojokerto, dengan menyinggung nama seorang korban berinisial WD, warga Desa Kauman, Kecamatan Bangsal, Mojokerto (Rabu 24 September 2025 )

Media tersebut menuliskan bahwa WD, yang diamankan pada 13 September 2025 karena dugaan penggunaan narkoba, kemudian dibebaskan pada 18 September 2025 dengan alasan menjalani rawat jalan. Disebutkan pula bahwa pembebasan tersebut dilakukan setelah adanya pembayaran sebesar Rp12 juta melalui Yayasan Pondok Pesantren Rehabilitasi Pecandu Narkoba Al Kholiqi.

Pemberitaan tersebut sontak menimbulkan persepsi negatif di masyarakat, seolah-olah ada praktik kerja sama antara Satresnarkoba Polres Mojokerto dan Yayasan Al Kholiqi dalam kasus narkoba.

Menanggapi hal tersebut, Direktur YPP Al Kholiqi Rehabilitasi Pecandu Narkoba melalui kepala humas H. Fatoni menegaskan bahwa isi pemberitaan yang dimuat media lokal tersebut tidak akurat dan cenderung menyesatkan.

Memang benar kami menerima terduga pemakai narkoba berinisial WD untuk menjalani rehabilitasi. Namun tudingan adanya praktik ‘tangkap lepas’ yang melibatkan yayasan dan pihak kepolisian sama sekali tidak benar. Kami bekerja secara mandiri sebagai lembaga rehabilitasi dan tidak memiliki keterikatan dengan Polres Kabupaten Mojokerto dalam kasus WD,” jelasnya, Rabu (24/9/2025).

Menurutnya, tuduhan tersebut menunjukkan kurangnya pemahaman penulis berita terhadap aturan hukum, khususnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam Pasal 54, disebutkan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis maupun sosial, bukan semata-mata proses hukum pidana.

Seharusnya hal ini dipahami oleh rekan-rekan media. Rehabilitasi adalah hak sekaligus kewajiban bagi pecandu narkoba, dan itu sudah diatur undang-undang,” imbuhnya.

Salah satu poin yang ramai dibicarakan dari pemberitaan media lokal adalah biaya rehabilitasi sebesar Rp12 juta. Menanggapi hal itu, H. Fatoni menegaskan bahwa YPP Al Kholiqi merupakan lembaga mandiri atau swasta, bukan lembaga yang dibiayai pemerintah. Oleh karena itu, pembiayaan program rehabilitasi dilakukan dengan sistem prabayar.

“Nilai Rp12 juta itu merupakan kesepakatan antara pihak keluarga korban dengan pihak yayasan. Sama sekali tidak ada unsur paksaan. Jika keluarga benar-benar tidak mampu, mereka bisa mengajukan keringanan biaya dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu dari RT, RW, atau pemerintah setempat. Jadi, tudingan adanya pemerasan jelas tidak benar,” ujarnya.

Kepala humas YPP Al Kholliqi menegaskan bahwa sistem ini berlaku umum bagi semua pasien rehabilitasi di Yayasan Al Kholiqi. Pihak yayasan juga terbuka terhadap keluarga yang ingin berkonsultasi terkait keringanan biaya berdasarkan kondisi ekonomi mereka.

Pemberitaan media lokal tersebut juga menyebut adanya dugaan kerja sama antara Satresnarkoba Polres Mojokerto dengan Yayasan Al Kholiqi dalam praktik “tangkap lepas” terhadap pengguna narkoba. Hal ini secara tegas dibantah oleh kepala humas.

Kami tidak pernah menjalin kerja sama dengan kepolisian dalam hal itu. Fungsi kami murni membantu proses penyembuhan pecandu narkoba melalui rehabilitasi. Yayasan tidak memiliki kewenangan untuk menahan, melepas, atau memproses hukum terduga pengguna narkoba. Itu adalah ranah aparat penegak hukum,” jelas H. Fatoni.

Ia menambahkan, pencatutan nama yayasan dalam pemberitaan sepihak semacam itu justru merugikan lembaga yang fokus pada pemulihan pecandu narkoba. “Kami bekerja untuk kepentingan kemanusiaan, bukan untuk kepentingan hukum. Jangan sampai publik dibuat salah paham oleh pemberitaan yang tidak akurat,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, H. Fatoni juga menyampaikan imbauan kepada insan pers agar lebih berhati-hati dalam menulis berita, terutama terkait isu sensitif seperti narkoba. Informasi yang tidak berimbang dan tidak sesuai dengan aturan hukum dapat mencoreng nama baik lembaga sekaligus merugikan korban yang sedang berusaha pulih.



Pers adalah pilar demokrasi sekaligus sarana edukasi masyarakat. Karena itu, kami berharap setiap pemberitaan dilakukan dengan mengedepankan akurasi, verifikasi, dan memahami regulasi yang berlaku. Jangan sampai karya jurnalistik justru menimbulkan stigma negatif bagi keluarga korban maupun lembaga rehabilitasi yang bekerja dengan tulus,” pungkas H. Fatoni.

Penulis :  Red/ A.F 
×
Berita Terbaru Update