Liputanphatas.com || SURABAYA - Pilkada Serentak tahun 2024 akan diikuti 37 provinsi, kemudian 508 kabupaten / kota yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak tahun 2024. Pelaksanaan Pilkada Serentak tahun 2024 ini akan digelar pada tanggal 27 November 2024.
Ada 41 daerah diikuti calon tunggal versus kotak kosong kemungkinan besar dipengaruhi oleh koalisi besar partai politik di tingkat nasional yakni Koalisi Indonesia Maju Plus, masih ingatkah pada Pilpres tahun 2024 berkoalisi melawan KIM Plus, Menjelang dibukanya pendaftaran calon kepala daerah mendadak memilih ikut bergabung dalam KIM Plus.
Koalisi besar atau kartel politik memang tidak ada pasal di UU Pilkada yang dilanggar tetapi yang terjadi adalah ketika konstituen dari tingkat bawah sudah mengusulkan kandidat tiba-tiba pimpinan pusat partai politik memilih kandidat tertentu karena pimpinan mengalami tekanan, ancaman, tersandera, tergoda kekuasaan atau takut terjadi sesuatu di kemudian hari jika tidak bergabung dengan koalisi besar partai politik yang dibentuk oleh penguasa maka rakyat tidak banyak pilihan atas kandidat yang berkontestasi untuk memilih kandidat sesuai hati nuraninya.
Partai politik seharusnya berani mencalonkan kandidat sesuai dengan keinginan konstituennya bukan hanya ditentukan oleh keinginan atau kepentingan ketua umum partai politiknya.
Calon tunggal versus kotak kosong pernah di menangkan kotak kosong terjadi di Pilkada Kota Makassar tahun 2018 lantaran ada pasangan kandidat yang dicoret Mahkamah Agung (MA) karena melanggar UU Pilkada. Pilpres tahun 2024 dan Pilkada Serentak tahun 2024 tergerus oleh kepentingan sekelompok orang tertentu atau oligarki yang sengaja menciptakan koalisi besar dengan kekuasaannya.
Dalam konteks hakiki suara rakyat paling tinggi kedudukannya menjadi tereduksi. Pilpres tahun 2024 dan Pilkada Serentak tahun 2024 sudah dikondisikan untuk dimenangkan kelompok tertentu bahkan banyak pihak yang skeptis, lebih baik tidak perlu digelar Pilkada Serentak tahun 2024 kalau hanya untuk mengesahkan kandidat tertentu yang diusung koalisi besar dan didukung penuh oleh penguasa.
Tahap awal Pilpres tahun 2024, penguasa ingin melanggengkan cengkeraman kekuasaan dengan menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan seperti misal pencairan bantuan kepada masyarakat dan sebagainya. Fenomena kotak kosong kerap kali dianggap sebagai bentuk manipulasi politik yang dilakukan tanpa melanggar norma-norma demokrasi secara langsung di mana proses demokrasi tetap berjalan sesuai aturan tetapi esensinya terciderai. Intervensi kekuasaan dan kecurangan seperti yang disinyalir dapat memicu terjadinya peningkatan kotak kosong dalam Pilkada Serentak tahun 2024.
Kandidat yang didukung oleh kekuasaan dapat dengan mudah mengeliminasi pesaing potensial melalui berbagai cara. Fenomena kotak kosong bukanlah hal baru dalam Pilkada Serentak tahun 2024. Situasi ini menandakan adanya upaya-upaya untuk memastikan kemenangan calon tertentu tanpa perlu menghadapi kompetisi yang sehat dan adil dari pemilih yang tidak setuju dengan calon yang ada. Calon tunggal Pilkada Serentak tahun 2024 bukan hanya soal permasalahan daerah atau demokrasi lokal di tingkat provinsi, kabupaten dan kota tetapi telah menjadi sesuatu yang diciptakan oleh propaganda politik nasional.
Kehadiran kotak kosong menunjukkan adanya masalah serius dalam mekanisme politik termasuk lemahnya partisipasi dalam proses demokrasi. Fenomena ini mencerminkan keterbatasan partai politik dalam mencetak kader yang kompeten dan siap bertarung dalam Pilkada. Ketergantungan pada calon tunggal yang memiliki elektabilitas menunjukkan adanya krisis regenerasi dalam partai politik pada akhirnya merugikan proses demokrasi itu sendiri. Pemilih dipaksa memilih antara satu calon yang ada atau tidak memilih sama sekali tentu saja mengurangi kualitas dan representasi, yang semestinya ada dalam demokrasi. Mengatasi fenomena kotak kosong memerlukan strategi yang komprehensif melibatkan berbagai pihak termasuk pemerintah, partai politik dan seluruh rakyat Indonesia.
Kotak kosong pertama kali digunakan dalam kontestasi Pilkada pada tahun 2015, sangat di sayangkan karena mengalami eskalasi atau jumlahnya terus meningkat.
DPR, KPU dan Pemerintah perlukah merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada secara komprehensif ? Kotak kosong menang dalam Pilkada Serentak tahun 2024, landasan hukumnya apa ? Apakah menggunakan PKPU (Peraturan KPU) atau UU Pilkada ? Suatu daerah harus dipimpin oleh kepala daerah yang definitif karena kewenangan penjabat kepala daerah itu terbatas. Pengaturan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah di UU Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) disarankan tidak hanya mengatur batas minimum tetapi juga batas maksimum agar tidak terjadi lagi calon tunggal melawan kotak kosong. Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan baru yang final dan mengikat membawa angin segar bagi demokrasi dan Pilkada Serentak tahun 2024.
MK mengabulkan sebagian gugatan perkara nomor 60/PPU-XXII/2024 terkait UU Pilkada. MK memutuskan mengubah ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah. Keputusan MK ini bisa berimplikasi dapat mengurangi munculnya kotak kosong dalam Pilkada Serentak tahun 2024. Kalau keputusan MK di berlakukan maka akan dapat membuka kesempatan besar bagi calon yang diusung, partai politik bisa mendaftar dalam kontestasi Pilkada Serentak, artinya kemungkinan kotak kosong semakin kecil. Keputusan MK ini bisa bermakna kemenangan rakyat melawan oligarki politik.
Implikasi lain kalau syarat pencalonan sekitar 7,5 persen maka bisa jadi beberapa partai politik yang sudah berkoalisi akan pecah. Jika ini terjadi maka sangat mungkin kontestasi Pilkada Serentak tahun 2024 akan berlangsung dengan banyaknya kandidat dan hal ini tentu bagus bagi demokrasi karena rakyat akan disuguhi calon pemimpin yang lebih beragam. Pemilihan Kepala Daerah adalah proses politik untuk mencari pemimpin dan seluruh rakyat tentu berharap akan mendapatkan pemimpin yang terbaik sesuai dengan harapan. Rencana revisi UU Pilkada oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah harusnya memasukkan ambang batas ( threshold ) maksimum pencalonan kepala daerah agar tidak ada upaya memborong partai politik oleh calon. Dengan adanya pengaturan ambang batas maksimum tersebut akan membatasi menimbunnya banyak partai dalam satu koalisi pencalonan selain itu juga mengatur sanksi bagi partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tetapi tidak mengajukannya sebagaimana halnya dalam pengajuan pasangan calon dalam Pemilihan Presiden. Penataan ulang soal keuangan politik sehingga biaya politik yang harus ditanggung oleh calon atau partai politik atau gabungan partai politik lebih rasional dan bisa di pertanggung jawabkan.
Kotak kosong tidak bisa menjadi aspirasi publik dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada) karena ini soal formalisasi ekspresi politik yang berbeda bahwa tidak semua ekspresi politik itu dapat di wadahi oleh pasangan calon yang ada di kotak suara. Jika calon tunggal kalah atau kotak kosong yang menang dalam pemilihan kepala daerah, Pilkada dapat diulang pada tahun berikutnya, ketentuan ini diatur dalam Pasal 54 D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota (UU Pilkada). Pasal 54 D ayat (1) mengatur calon tunggal dinyatakan menang jika mendapatkan lebih dari 50 persen suara. Pasal 54 D ayat (2) menyatakan calon tunggal kalah boleh mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya. Pasal 54 D ayat (3) menyebutkan pemilihan diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.
Mengapa ada kata-kata jadwal yang di muat dalam peraturan perundang-undangan ?
Praktik sebelumnya Pilkada di selenggarakan pada tahun 2015, 2017, 2018, dan 2020. Penataan jadwal Pilkada akan berlangsung setiap lima tahun sekali secara reguler. Pasal 54 D ayat (4) menegaskan jika belum ada pasangan calon terpilih, pemerintah menugaskan penjabat untuk memimpin daerah tersebut.
Dalam batas penalaran yang wajar apabila calon tunggal kalah dalam Pilkada Serentak tahun 2024 maka Pilkada diulang pada tahun berikutnya yaitu tahun 2025 dan tidak masuk akal jika pemilihan ulang dilaksanakan lima tahun setelahnya hingga masyarakat dibiarkan dipimpin oleh penjabat yang bukan kepala daerah definitif hingga tahun 2029.
Mengapa pemerintah ingin segera menyelenggarakan pelantikan hasil Pilkada Serentak tahun 2024 ?
Karena pemerintah ingin mendapatkan kepala daerah secara definitif agar agenda pembangunan di daerah bisa berjalan dengan baik.
Selain itu Pasal 54 D ayat (3) tersebut di atas adalah " diulang kembali pada tahun berikutnya ", dalam konteks ini semestinya yang diutamakan adalah menyelenggarakan pemilihan ulang, agar ada kepemimpinan daerah yang definitif ketika calon tunggal kalah maka sesuai ketentuan Pasal 54 D ayat (3) Pilkada ulang dapat di selenggarakan pada tahun berikutnya atau sesuai jadwal lima tahun sekali.
Jika nanti di selenggarakan ditahun berikutnya berarti pemilihan akan diselenggarakan pada bulan November tahun 2025. DPR, KPU, dan Pemerintah perlu merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada secara komprehensif sehingga tidak ada lagi peluang bagi partai politik atau peserta Pilkada untuk menjadikan Pilkada di suatu daerah itu calon tunggal. Kotak kosong meningkat harus ada terobosan hukum terkait opsi apa yang perlu dilakukan apabila kotak kosong menang, sehingga tidak ada stagnasi pemerintahan daerah.
Artikel Eko Gagak SATU SUARA